Aku pernah berkata , kisah ku terbagi oleh senja. Selalu menyisipkan
elegy di tiap kisahnya. Aku menganggap Tak seorang pun yang tau dan tak mau
tau, ada keegoisan yang tersirat dalam benak ku. Memang aku yang membagi kisah
ku bersama senja. Melankolia terkesan sendu dan puitis, tapi tak semua nya
berunsur seperti itu.
Mengandaikan merajut kisah berbagi perasaan dengan sebuah sinar yang
menyorot mata dan hampir hilang tenggelam. Keindahaan nya memang terletak pada
titik penghabisan. Mengapa aku sangat menikmati warna akhir yang di tinggalkan
matahari, hingga jingga yang menyatu dengan biru dan kelabu atau terkadang
cahaya emas yang menyilaukan mata semburat biru laut. Kenikmatan yang tak
pernah aku bayangkan sebelumnya. Bisa ku katakan bahwa kenikmatan yang ku
rasakan bisa melebihi kenikmatan duniawi. Berfikir kenikmatan itu hanya sesaat
saja, ya hanya waktu itu. Tak bisakah kau bayangkan rasanya hingga titik
ternikmat itu berulang kali walaupun kau telah melewati jangka waktu yang lama
tuk tak menikmatinya secara langsung.Aku adalah setengah, setengah adalah aku.
Kebingungan menjerembab hingga ubun-ubun ku. Ya, gaya bahasa mulut dan tubuhku
mengikuti semua apa yag sedang ku pikirkan.
Cermin itu memantulkan bayangan yang sebenarnya tak benar-benar ku
pahami. Aku lelah untuk melihat ke
cermin, sebagian diriku berada di dalamnya dan aku yang sebenarnya mengapung.
mengoyakkan cermin itu hingga pecah berderai hingga serpihannya tak mampu ku
satukan. Ternyata dia menyatu dengan sendirinya seperti magnet yang menghubungkan
semua serpihan. Untung saja banyak kutub yang menolak, jadi tak benar-benar
utuh dan seperti cermin yang sebelumnya. Itu benar-benar mengganggu ku karena
cermin itu menempel tepat di belakangku sekarang. Mungkin bisa jadi spion yang
berada di sana, sehingga harus menengok ke belakang sesaat tuk melihat kaca
yang tak sempurna dan tak utuh lagi.
………..
No comments:
Post a Comment